Noling – Diagnosa berbasis AI di dunia medis bekerja dengan menganalisis data medis dalam jumlah besar, seperti hasil pemindaian radiologi, rekam medis elektronik, hingga catatan laboratorium. Dengan dukungan algoritma machine learning yang terus dilatih dari jutaan data kasus, AI mampu mengenali pola penyakit secara cepat dan akurat.
Teknologi ini sudah diterapkan dalam pendeteksian kanker payudara, tumor otak, hingga gangguan retina dengan tingkat akurasi yang dalam beberapa studi melampaui hasil diagnosa dokter spesialis.
Namun, seberapa aman diagnosa berbasis AI di dunia medis? Meski efisien dan presisi, sistem AI tidak lepas dari risiko. Kualitas diagnosa sangat bergantung pada kualitas data pelatihan yang digunakan.
Baca Juga: Tren Pupuk: Dinamika antara Efisiensi, Teknologi, dan Kelestarian Lingkungan
Jika data tersebut bias atau tidak representatif, maka hasilnya pun bisa keliru. Selain itu, banyak sistem AI yang bersifat “black box”, yakni sulit dijelaskan bagaimana sistem sampai pada suatu keputusan hal ini menjadi tantangan besar dari segi transparansi medis.
Namun, di tengah efisiensi yang ditawarkan, muncul pertanyaan mendasar: seberapa aman diagnosa berbasis AI? Dan, apakah Indonesia sudah siap menyambut lompatan teknologi ini?
AI dalam Dunia Medis: Antara Inovasi dan Kekhawatiran
Penggunaan AI di dunia kesehatan bukanlah hal baru. Di beberapa negara maju, sistem berbasis AI telah digunakan untuk membaca hasil radiologi, mendeteksi tumor, hingga membantu perencanaan tindakan bedah.
Sebuah studi yang dimuat dalam jurnal Obat alam (2023) menunjukkan bahwa AI mampu mendiagnosis kanker paru-paru dari hasil CT-scan dengan akurasi hingga 94,4%melampaui performa sebagian besar ahli radiologi.
Hal senada disampaikan oleh peneliti di Karolinska Institute, Swedia, yang menguji AI pada lebih dari 80.000 hasil mammogram. Hasilnya, penggunaan AI menurunkan beban kerja radiolog hingga 50% tanpa mengorbankan akurasi diagnosa.
Baca Juga: Jangan Remehkan AI! Tanpa Autentikasi, Kata Sandi Anda Tak Lagi Aman
Penerapan di Indonesia: Langkah Awal Menuju Digitalisasi Kesehatan
Di Indonesia sendiri, diagnosa berbasis AI masih menghadapi sejumlah tantangan. Belum adanya regulasi nasional yang spesifik mengatur penggunaan AI di bidang kesehatan membuat aspek tanggung jawab hukum menjadi abu-abu.
Bagaimana jika terjadi kesalahan diagnosa? Siapa yang harus bertanggung jawab pengembang, penyedia layanan, atau tenaga medis yang mengandalkan sistem tersebut?
Selain itu, kesiapan infrastruktur menjadi kendala tersendiri. Banyak rumah sakit dan puskesmas di daerah belum memiliki perangkat teknologi yang mendukung integrasi AI. Akses internet yang belum merata juga membuat penerapan teknologi ini belum bisa dilakukan secara luas. Padahal, jika dimanfaatkan secara optimal, AI berpotensi besar mempercepat pemerataan layanan kesehatan dan membantu mengatasi kekurangan dokter spesialis di daerah terpencil.
GeNose C19: Inovasi Lokal Berbasis AI
Pada masa pandemi, Universitas Gadjah Mada (UGM) mencuri perhatian dengan meluncurkan Genose C19alat pendeteksi COVID-19 berbasis AI. Hanya dengan menghembuskan napas ke dalam alat, pengguna bisa mengetahui hasilnya dalam kurang dari 3 menit. Tingkat akurasi alat ini bahkan mencapai 97%menurut rilis resmi UGM tahun 2021.
Dalam keterangan pers yang disampaikan Kepala Tim GeNose, Prof. Kuwat Triyana, disebutkan bahwa sistem AI pada GeNose dilatih menggunakan ribuan data napas pasien positif dan negatif COVID-19. Hasilnya, alat ini mampu menjadi solusi deteksi cepat, murah, dan portabel.
Pilot Project AI di Beberapa Rumah Sakit
Beberapa rumah sakit besar di Indonesia sudah mulai mengadopsi teknologi ini dalam bentuk pilot project, terutama di bidang radiologi dan dermatologi. Misalnya, Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) dan beberapa startup healthtech lokal telah mengembangkan sistem berbasis AI untuk analisis citra medis dan rekam jejak pasien.
Dengan kolaborasi antara pemerintah, tenaga medis, dan pengembang teknologi, diagnosa berbasis AI di dunia medis Indonesia dapat menjadi solusi masa depan yang efektif—asal tetap mengedepankan akurasi, transparansi, dan perlindungan hak pasien.
Kebangkitan Telemedicine dan Chatbot Medis
Spike digunakan telemedicine selama pandemi turut memicu adopsi AI secara lebih luas. Berdasarkan data dari Katadata Insight Center (2022), aplikasi seperti Halodoc, Alodokterdan layanan konsultasi daring lainnya mengalami peningkatan pengguna hingga 900% Antara 2019 dan 2021.
Beberapa aplikasi kini mulai mengintegrasikan chatbot berbasis AI untuk konsultasi awal. Pengguna tinggal memasukkan gejala yang dirasakan, lalu sistem akan memberikan saran awal tentang kemungkinan penyakit dan langkah yang dapat diambil sebelum konsultasi lanjutan dengan dokter.
Manfaat Nyata, Tapi Risiko Tak Bisa Diabaikan
Meskipun teknologi AI dalam kesehatan menawarkan banyak keuntungan, para ahli mengingatkan bahwa potensi risikonya juga nyata.
Dr. Fitri Rahmawati, pakar bioetika dari Universitas Indonesia, dalam wawancaranya dengan Tempo.co menegaskan, “AI memang bisa mendeteksi kelainan secara cepat, tapi bisa juga memunculkan fenomena overdiagnosis di mana pasien didiagnosa memiliki kelainan yang sebenarnya tidak berbahaya.”
Selain itu, risiko lain yang sering terjadi adalah Bias otomatisasi yaitu kecenderungan dokter atau pasien terlalu mempercayai hasil AI tanpa mempertimbangkan faktor klinis lainnya. Ini bisa menyebabkan diagnosa yang seharusnya benar justru dikoreksi menjadi salah karena mengikuti saran mesin.
Regulasi Belum Jelas: Siapa yang Bertanggung Jawab atas Kesalahan AI?”
Hingga pertengahan -2025, Indonesia belum memiliki payung hukum khusus yang mengatur penggunaan AI dalam praktik medis. Beberapa aspek seperti batas tanggung jawab jika terjadi kesalahan diagnosa, perlindungan data pasien, hingga transparansi algoritma masih menjadi perdebatan.
Namun, Kementerian Kesehatan telah memberikan pernyataan bahwa AI tidak boleh menggantikan peran doktermelainkan hanya berfungsi sebagai alat bantu. Dalam Surat Edaran Nomor HK.02.02/2024 tertanggal 30 Desember 2024, Kemenkes menegaskan pentingnya keterlibatan manusia dalam proses pengambilan keputusan klinis.
Kesenjangan Akses dan Literasi Digital Jadi Tantangan
Menurut riset yang dilakukan oleh Lembaga Riset Siber Indonesia (LRSI), salah satu hambatan utama adopsi AI di Indonesia adalah ketimpangan akses internet dan rendahnya literasi digital di kalangan tenaga kesehatan.
“Kalau di rumah sakit besar mungkin sudah siap, tapi di daerah, sinyal saja sering putus-putus. Bagaimana mau jalankan sistem AI?” ujar dr. Rizal Wahyudi, kepala Puskesmas di Lampung Barat.
Selain itu, minimnya data medis lokal berkualitas juga menghambat pengembangan sistem AI yang benar-benar akurat dan relevan untuk konteks Indonesia.
Kesimpulan: AI sebagai Pendamping, Bukan Pengganti
Meski kecerdasan buatan menawarkan potensi luar biasa dalam meningkatkan efisiensi dan akurasi diagnosa, AI bukanlah solusi tunggal. Sistem ini tetap memerlukan pendampingan tenaga medis, regulasi yang matang, serta infrastruktur pendukung yang memadai.
Pakar teknologi kesehatan dari LIPI, Dr. Bima Kurniawan, menyatakan bahwa masa depan dunia medis adalah kolaboratif. “AI tidak menggantikan dokter, tapi memperkuat kapasitas mereka. Justru bahayanya jika kita mengandalkan teknologi tanpa pemahaman dan pengawasan.”
Untuk melengkapi produktivitas Anda, manfaatkan Dashboard nolimit platform analisis dan monitoring social media serta online media yang membantu Anda memantau tren, kompetitor, dan sentimen pasar secara real-time.
Gaming Center
Game News
Review Film
Rumus Matematika
Anime Batch
Berita Terkini
Berita Terkini
Berita Terkini
Berita Terkini
review anime
Gaming Center
Gaming center adalah sebuah tempat atau fasilitas yang menyediakan berbagai perangkat dan layanan untuk bermain video game, baik di PC, konsol, maupun mesin arcade. Gaming center ini bisa dikunjungi oleh siapa saja yang ingin bermain game secara individu atau bersama teman-teman. Beberapa gaming center juga sering digunakan sebagai lokasi turnamen game atau esports.